Sahabat Pembangkit Nasionalisme
Hari ini adalah hari pertama Reza bersekolah di SMK Merdeka
Jakarta, sekolah yang terletak di perapatan jalan raya sangat ramai dengan
bunyi klakson kendaraan yang hilir mudik di depan gerbang sekolah. Sebelumnya, Reza
adalah seorang siswa pindahan kelas XII dari SMK Jaya Bogor. Ia menjadi siswa
pindahan dikarenakan ayahnya memiliki tugas kedinasan di Jakarta. Sebagai anak
tunggal dan piatu beberapa tahun silam sangat berkibat pada kejiwaannya. Sementara
ayahnya yang terlalu sibuk dengan pekerjaan semakin mendorong Reza menjadi anak
yang tertutup dan tidak mempedulikan keadaan sekitar atau yang disebut dengan individualisme.
Hari Senin menjadi awal untuk Reza bersekolah di Jakarta.
Disambut dengan hari yang cerah, angin yang melambai sejuk dan suasana yang begitu
nyaman. Namun rupanya, hari pertama di sekolah barunya tidak secerah suasana di
pagi hari ini. Pukul 06.30 pagi Reza sampai di sekolah. Ia membuka pintu
mobil pribadi milik ayahnya, berjalan dengan gaya yang cool menelurusi lorong sekolah sambil menggunakan airphone dengan volume yang keras.
Tergesa-gesa mencari kelas barunya, sampai tak memperhatikan orang lain
dihadapannya.
“Mana
sih kelasnya?” gerutu Reza sambil tergesa-gesa membuatnya tak sengaja menabrak
seseorang
“Aduh,
hati-hati dong. Kalau lagi jalan itu dilepas airphone-nya. Untung nabrak saya, bukan nabrak tronton,” ucap Bimo
siswa kelas XII sambil menampakan sorot wajah kesal
Melihat
wajah seseorang yang kesal karena ulahnya, ia pun segera melepas airphone yang
ia kenakan dan segera menanyakan kelas barunya
“Eh
iya ga sengaja. Kelas XII-C dimana ya?” tanya Reza tanpa merasa bersalah
“Siswa
baru ya? Pantes. Disitu tuh ruang ketiga sebelah kanan,” jawabnya sambil
menunjuk ruang kelas XII-C. Kemudian tanpa mengucapkan terimakasih Reza
langsung bergegas menuju kelas yang ditunjuk Bimo.
“Oh
situ,” ujar Reza
“Huh
sabar sabar,” ucap Bimo sambil meredam amarahnya
Reza pun masuk ke kelas barunya,
memilih untuk menempati kursi yang paling belakang. Menaruh tas ransel sambil
mengeluarkan alat tulis dan telepon genggamnya. Tak lama, guru pendidikan
kewarganegaraan yang bernama Ibu Farah pun masuk kelas sambil memberikan salam.
“ Assalamu’alaykum semuanya. Selamat pagi!” sambutnya sambil merapihkan
kertas-kertas ulangan. Siswa kelas XII-C serentak menjawab salam dengan semangat.
“Wa’alaykumussalam, pagi bu,”
Bu Farah terkenal sebagai guru yang tegas dalam pelajaran.
Di pertemuan kali ini, ia akan mengadakan ulangan harian. Namun, seperti biasanya
sebelum memulai ulangan ia akan memberikan kuis terlebih dulu berupa
pertanyaan-pertanyaan mudah. Bu Farah memandang ke arah siswa-siswanya lalu
mengatakan, “ Baik semuanya, hari ini kita akan ada ulangan harian, tetapi
sebelum memulai ulangan akan ada kuis. Sebelum dimulai kuisnya, apa ada yang
ingin ditanyakan?” Semua siswa kecuali Reza serentak menjawab dengan
menggelengkan kepala. Reza sibuk bermain telepon genggamnya sehingga tidak
mendengarkan apa yang sedang dibicarakan di depan kelas. Tidak mempedulikan
keadaan sekitarnya.
Berbeda dengan Reza yang memiliki sifat individualisme, Fikri
siswa yang aktif dalam pelajaran sangat antusias memperhatikan apapun yang
sedang dibicarakan di depan kelas terlebih lagi menyangkut pelajaran yang ia
sukai yaitu mengenai pendidikan kewarganegaraan.
Waktu pun berjalan tanpa menunggu. Tepat pukul 07.10 Bu
Farah memulai kuisnya. Ia berdiri tepat di depan papan tulis sambil membacakan
kuisnya. “Baiklah, kuis pertama adalah tanggal berapa hari kesaktian
pancasila?” tanya Bu farah. Fikri yang menganggap pertanyaan itu mudah dengan
cepat ia mengacungkan tangannya karena menurutnya, hari-hari nasional wajib
untuk dihafalkan sebagai bentuk kecintaan terhadap Negara Indonesia. “Tanggal 1
Oktober 1965 bu!” jawab Fikri lantang. “Betul sekali Fikri,” ujar Bu Farah
sambil memberikan nilai tambahan. Fikri pun mendapat tepuk tangan yang meriah
dari temang-temannya. Saat semua siswa serentak bertepuk tangan, terlihat siswa
yang paling belakang sibuk memainkan suatu benda yang ada di dalam tasnya. Hal
tersebut menjadi perhatian Bu Farah.
Terbesit dalam benak Bu Farah untuk melemparkan pertanyaan
kepada siswa yang paling belakang tersebut, siswa itu adalah Reza. “Baiklah,
kuis selanjutnya tanggal berapa hari sumpah pemuda? Kepada siswa yang paling belakang
silakan jawab!” ujar Bu Farah sambil menunjuk Reza. Reza yang terkejut
mendengar suara Bu Farah dengan spontan
menjawab, “Sekarang tanggal 5 oktober bu,” ucapnya sambil memasukan telepon genggamnya
ke dalam tas. “Hahaha…” Mendengar jawaban yang tidak sesuai semua siswa di
dalam kelas tersebut menertawai Reza. “Saya bukan sedang menanyakan tanggal
saat ini, saya tanya tanggal berapa hari sumpah pemuda?” ujar Bu Farah tegas
mengulangi pertanyaannya. Hanya perasaan malu yang dirasakan Reza dan ia hanya
bisa mengatakan maaf kepada Bu Farah karena sudah tidak memperhatikannya sejak
awal. “Ma..maaf bu. Saya tidak memperhatikan ibu sejak awal,” Bu Farah
memutuskan untuk memberi sanksi ringan kepada Reza yaitu tidak memperbolehkan
Reza untuk mengikuti ulangan harian kali ini. Reza yang berusaha meminta
pertimbangan tidak dapat mengubah keputusan Bu Farah. “Silakan kamu tunggu di luar
kelas! Selesai ulangan kamu bisa mengikuti pelajaran lagi,” ucap Bu Farah mempersilakan
Reza untuk keluar kelas. Dengan lesuh Reza keluar kelas, ia duduk di
lorong-lorong kelas sambil merenungi kesalahannya.
Setelah ulangan berakhir waktunya
istirahat pun tiba. Fikri dan dua orang sahabatnya menghampiri Reza berniat untuk
menghiburnya.
“Hai
Reza!” tegur Fikri sambil duduk disampingnya
“Hm..
hai,” jawabnya lesuh
“Kamu
tidak perlu sedih za, kan ada kami disini. Ada aku kembarannya Aliando.
Iya ga? (sambil melirik Fikri dan Kiki),”
ucap Bobi
“Ah
kamu bob, kembaran apa nya. Kamu itu lebih mirip yang ada di kebun binatang itu
loh. Suaranya gini uu..uu.a’a..(Sambil
meilustrasikan orang utan),” ujar Kiki yang meledek Bobi
Mereka semua tertawa mendengar lelucon Bobi dan Kiki. Reza
menyadari jika berinteraksi secara langsung lebih menyenangkan. Ia sangat
menyesal karena telah bersikap tidak peduli terhadap lingkungan sekitar. “Hm..
Teman-teman terimakasih sudah menghibur saya. Kalian baik dan ramah sekali,
sedangkan saya begitu individualisme. Saya sudah tidak peduli terhadap lingkungan
sekitar dan lebih suka bermain handphone
daripada berinteraksi langsung,” ungkap Reza merasa bersalah. Mendengar hal
tersebut Fikri pun mengatakan, “Tidak apa-apa za itulah pentingnya berinteraksi,
selain bisa menghibur juga bisa saling membantu,”
Kini mereka pun bersahabat. Reza sangat senang bisa bersahabat dengan Fikri dan Bobi. Di sela-sela pembicaraan, Fikri mengingatkan jika ada ekstrakulikuer pramuka sepulang sekolah.“Oh iya temen-temen, jangan lupa ikut ekstrakulikuler pramuka sepulang sekolah!” ujar Fikri dengan semangat
Kini mereka pun bersahabat. Reza sangat senang bisa bersahabat dengan Fikri dan Bobi. Di sela-sela pembicaraan, Fikri mengingatkan jika ada ekstrakulikuer pramuka sepulang sekolah.“Oh iya temen-temen, jangan lupa ikut ekstrakulikuler pramuka sepulang sekolah!” ujar Fikri dengan semangat
“Memangnya
apa manfaatnya mengikuti ekskul tersebut?” tanya Reza yang tidak suka ekskul
pramuka
“Manfaatnya
banyak banget. Pramuka itu melatih kita untuk lebih mandiri dan yang paling
penting dapat meningkatkan rasa nasionalisme kita sebagai warga negara,” ucap
Fikri menjelaskan
“Apa
itu nasionalisme?” tanya reza
“Nasionalisme
itu adalah suatu paham atas rasa kecintaan serta kepatuhan kita dalam
menjunjung tinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berupa rasa peduli
terhadap orang lain dan masyarakat sekitar, belajar dengan sungguh-sungguh sebagai
pelajar, dan sebagainya,’’ sambung Kiki ikut menjelaskan
“Oh…
Jadi seperti itu. Apakah kita dituntut memiliki sikap nasionalisme?” tanya reza
“Memiliki
sikap nasionalisme merupakan suatu kewajiban. Bukan hanya remaja saja, tetapi
semua rakyat berjiwa muda juga harus menjalankan kewajibannya. Artinya, semua
rakyat yang memiliki semangat dalam memajukan negeri ini,” jelas Fikri secara
detail
“Nah..
Sekarang sudah tau kan za, yuk kita ikut ekskulnya!” ajak bobi
“Wah..
Kalau gitu mulai saat ini aku ingin seperti kalian yang memiliki sikap
nasionalisme. Yuk aku mau ikut,” ujar Reza menerima ajakan sahabat-sahabatnya
Reza, Fikri, Bobi dan Kiki kini menjadi sahabat. Reza sangat
bersyukur dapat mengenal ketiga sahabatnya karena telah menyadarkan untuk tidak
lagi menjadi pribadi individualisme. Ia sadar tak ada manfaat yang dapat
diperoleh dengan melupakan paham nasionalisme. Sikap peduli kepada orang lain
serta kecintaan terhadap negara lebih dibutuhkan di era individualisme ini yang
dapat memudarkan paham nasionalisme pada masyarakat terutama di kalangan remaja.
Hidup itu pilihan. Pilihan menjadi bangsa yang maju atau terbelakang. Menjadi
generasi terbaik atau generasi menunduk. Menjadi orang yang memiliki paham nasionalisme
atau individualisme. Oleh karena itu, mulai saat ini ia memutuskan untuk
menanamkan sikap nasionalisme di dalam dirinya.
#Great4thCOMPETITIONFEUNJ
Komentar
Posting Komentar